SUNARYA
Hampir semua orang memiliki impian yang menjadi pemicu semangat, hidup
lancar tanpa masalah, rumah tangga harmonis, kebebasan finansial,
karier di puncak, atau bisnis berkembang. Namun manusia hanya bisa
berencana. Perhitungan adakalanya meleset jauh dari harapan. Kegagalan,
apapun bentuknya, tentu mengecewakan. Namun kesanggupan untuk bangkit
menjadi penentu keberhasilan. Masalahnya seberapa siap seseorang
mengelola emosi untuk kembali bangkit dan meraih kesempatan berikutnya.
SAAT MERASA TAK BERHARGA
Jajak
pendapat yang dilakukan GH Indonesia terhadap 100 orang (dengan
berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan) menunjukkan: 38%
responden membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk bisa mendapatkan
semangat kembali. Bahkan ada yang memerlukan waktu hingga hitungan
tahun. Sedih, marah, kecewa dan stres tidak bisa terhindarkan saat
mengalami kegagalan. Seperti yang dirasakan Siti Rizkiani Nuria
Putri/Kiki (27), saat bisnis katering yang dikelola bersama beberapa
orang rekannya, mengalami kebangkrutan. Kiki mengaku perlu waktu
beberapa tahun sebelum kembali berani membuka bisnis baru. “Mengalihkan
usaha tidak semudah yang dibayangkan,” ujar Kiki. Terlebih selain modal
yang ia tanamkan di bisnis tersebut cukup besar ia dikhianati oleh
partner bisnis yang ia percaya.
Kehilangan sejumlah uang dalam
jumlah besar memang menyesakkan, tapi terbelit utang ratusan juat juga
memusingkan. Itulah yang dialami Aurora (35)-(nama samaran, tidak
bersedia menyertakan foto) “Saya sempat mengalami mental breakdown yang
parah berbulan-bulan,” ujar Aurora yang terlilit utang kartu kredit
hingga 280 juta rupiah. Di saat hampir bersamaan, ia juga harus
menghadapi perceraian.
Bagaimana jika mengalami kegagalan karena
sebab yang tidak diketahui? Tetap saja menyisakan rasa resah. Seperti
Aninditya Kumala Aprilia (28), karyawati swasta yang kini sedang
merintis usaha, saat gagal mencapai target karier yang diimpikan, dan
justru mengalami mutasi pekerjaan. Ia butuh waktu cukup lama untuk
memikirkan dan ‘menerima’ hal di luar perhitungannya itu.
Tidak
hanya kegagalan di bidang pekerjaan atau bisnis saja yang membuat hidup
rumit. Dwi Mauliyati (29), pegawai negeri sipil, mengalami stres selama
beberapa bulan saat rencana pernikahannya batal. “Memang keputusan
membatalkan adalah kesepakatan bersama, dan saya tahu itu yang terbaik,
tapi tetap saja itu artinya sebuah kegagalan,” kata Dwi. Begitu juga
yang dialami Ainun Niswati Chomsun (39) founder Akademi Berbagi saat
menghadapi perceraian. Dunia terasa runtuh baginya. Ainun membutuhkan
waktu hingga beberapa tahun untuk menata hatinya kembali.
Menurut
Rustika Thamrin, S.Psi, psikolog keluarga dari Brawijaya Women and
Children Hospital sekaligus Director of School of Empathy Indonesia
mengungkapkan sejauh mana seseorang bisa menghadapi stres dalam
menghadapi masalah karena kegagalan tergantung dari faktor diri dan
lingkungan saat seseorang dibesarkan. “Seseorang yang dibesarkan di
lingkungan yang mengutamakan kesempurnaan bisa jadi saat gagal merasa
dirinya tidak berharga. Bagi orang tersebut, kegagalan identik dengan
dosa besar,” ujar psikolog yang biasa dipanggil Tika ini. Seberapa lama
kondisi itu berlangsung? Tika mengatakan tergantung yang bersangkutan.
Ada yang singkat karena ingin segera maju.
Tetapi ada juga yang
butuh waktu lama untuk melepaskan emosi. Saat terpuruk seseorang merasa
dirinya dipandang sebelah mata. Stres bisa bertambah saat lingkungan
sekitar bereaksi dengan cara yang salah. Seperti ingin menunjukkan
empati tapi ujungnya malah mengganggu. “Di saat itulah orang harus bisa
membaca situasi. Banyak orang berniat untuk empati tapi justru malah
menggganggu. Contohnya banyak bertanya untuk menunjukkan kepedulian,
tapi itu justru membuat orang semakin sedih,” ungkap Tika. Hal itu
dialami Dwi yang sempat tidak mau bertemu keluarga besar untuk
sementara, karena malas mendapat pertanyaan atau komentar yang itu-itu
saja.
DUKUNGAN ORANG TERDEKAT, PENTING!
Pelepasan
emosi memang diperlukan. Namun Tika mengingatkan untuk bisa
mengekspresikan emosi sesuai dengan cara dan waktu yang wajar dan bisa
diterima oleh orang lain. Saat mengalami keterpurukan orang terdekat
yang biasanya menjadi tempat berkeluh-kesah. Orangtua, pasangan dan
sahabat menjadi pilihan untuk berkeluh kesah.
Sebanyak 39%
responden menyatakan dukungan pasangan menjadi kekuatan untuk bertahan
menghadapi masalah. Orangtua dan sahabat juga berperan sama. Meski
demikian tidak jarang saat mengalami kegagalan ada juga yang sukar
berterus terang pada orangtua karena takut menyusahkan. Dwi dan Aurora
mengalaminya. “Saya memilih bicara dulu dengan tante tentang sebelum
bicara pada orangtua. Pertama karena saat itu saya tinggal bersama
tante, kedua karena pada dasarnya masalah ini berat karena ada beban
menjaga perasaan keluarga juga,” tutur Dwi.
Sementara Aurora
justru awalnya memilih untuk tidak bicara pada siapa-diapa. Terlebih
pada orangtua, karena tidak mau menyusahkan. Tapi masalah bertambah
runyam saat debt collector meneror ke kantor dan ke rumah. “Solusi
datang dari teman kantor yang pernah mengalami hal serupa. Dia menjadi
tempat menumpahkan keluh kesah sekaligus membantu mencari jalan keluar,”
kata Aurora. Berusaha menyelesaikan masalah sendiri tidaklah salah,
tapi Tika berpendapat manusia juga harus mau memberi dan menerima.
Mungkin
Anda tak mau bercerita karena tak mau menyusahkan orangtua, tapi banyak
orangtua yang justru senang karena merasa dibutuhkan,” ujar Tika.
Support orangtua tidak akan hilang.
BANGKIT LAGI
Kelalain
memperhitungkan strategi jadi sumber masalah. “Saya rasa kegagalan yang
saya alami didasari oleh ambisi yang tinggi dan ini adalah pemikiran
yang salah,” ujar Aninditya.
Begitu juga Auorora. “Saya euforia
memakai kartu kredit, sementara di saat yang sama saya tidak memiliki
income tetap. Saat income saya terhenti, terjadilah ‘subsidi silang’,
jadi saya mengambil sisa limit kartu kredit A, untuk membayar B, setelah
mentok saya apply kartu kredit lagi, sampai jumlah kartu kredit saya
ada 8, dan tagihan kartu kredit saya mencapai 280 juta. Di saat saya
dalam kondisi tanpa pendapatan,” cerita Aurora.
Kegagalan memberi
banyak pelajaran. “Dulu saya merasa tidak bisa hidup sendiri. Ternyata
saya bisa, walaupun tidak mudah saat mengikuti perjalanan untuk menuju
ke sana,” ujar Ainun. Ia mengakui banyak hal yang bisa diambil jadi
pelajaran seperti perlunya kemampuan untuk mengelola emosi lebih baik
lagi. Untuk Kiki dan Dwi kehati-hatian jadi perhatian utama. Apalagi
dalam membangun kepercayaan terhadap seseorang. “Sebenarnya sedari awal
saya tahu dia posesif. Tapi saat cinta sedang berbunga-bunga saya
percaya dia akan berubah. Namun nyatanya tidak begitu,” ujar Dwi.
Mengenali
masalah adalah langkah awal yang baik untuk memperbaiki kesalahan
sebelum bangkit kembali. Sebanyak 95% responden percaya akan adanya
kesempatan kedua, namun 73% responden mengakui kesempatan tersebut belum
menghampiri mereka. Sama halnya untuk bangkit dari keterpurukan, untuk
berhasil meraih kesempatan kedua pun diperlukan andil dari diri sendiri.
Mengenali sumber masalah adalah langkah awal yang baik. Selanjutnya
adalah kesadaran memperbaiki diri. “Nasihat atau saran secanggih apapun
jika yang bersangkutan tidak bergerak akan percuma, karena hanya kita
sendirilah yang bisa menolong diri sendiri,” kata Tika.
Bangkit
dari masalah bisa lebih mudah jika tidak sampai mengalami trauma.
Sebanyak 10% responden menyadari jika trauma menghalangi mereka untuk
mendapat kesempatan kedua. “Orang yang trauma membutuhkan bantuan lebih,
karena setelah mengubah paradigma, ia memerlukan dorongan untuk
melakukan tindakan,” ujar Tika. Dan ini biasanya datang dari ahli
seperti psikolog. Aurora mengaku sempat didampingi psikolog selama
beberapa bulan. Begitu juga dengan Ainun yang mencari pencerahan dengan
berkonsultasi pada psikolog. “Saya sempat mengikuti workshop Neuro
Linguistic Programming (NLP). Di sana saya belajar untuk lebih memahami
diri dan orang lain,” ujar Ainun. Dia sempat mengalami masa-masa enggan
bersosialisasi padahal Ainun termasuk orang yang supel.
Kiki
mengalami trauma untuk kembali berinvestasi. “Modal saya besar sekali.
Saya takut jika menanamkan modal lagi akan kembali disalahgunakan,” ujar
Kiki.
Kendati tidak trauma, stres yang dialami tetap mengganggu
dan harus diselesaikan. “Saya sempat mengalami insomnia, tidur hanya dua
jam sehari. Efeknya fisik terganggu rambut rontok, wajah berjerawat,”
Dwi menuturkan. Ia sempat menyangkal sedang menghadapi masalah besar.
Tapi saat ia melihat fisiknya berubah, ia sadar ada yang tidak beres.
Sementara
Aninditya berusaha untuk konsentrasi dalam bekerja dengan tidak
membawa-bawa perasaan untuk mengatasi kekecewaan saat itu.Menurut Tika
momentum untuk bangkit justru terjadi saat manusia ada di titik paling
rendah. Menurutnya, Anthony Robbins, seorang life coach, pernah
mengungkapkan bahwa orang yang terpuruk ibarat pegas yang sudah terinjak
dan siap melontar kembali ke atas. Kesempatan kedua memang bisa dalam
bentuk impian yang sama ataupun berbeda. “Pada prinsipnya kita tak boleh
berhenti mencoba, tapi kita juga harus memiliki ilmu, meningkatkan
skill, dan juga memiliki alternatif dalam hidup,” kata Tika. Jalan orang
memang berbeda-beda. Untuk sampai di titik A ada yang tinggal lurus ada
yang harus berkelok-kelok dulu. Tika menerangkan, mungkin juga ada yang
tidak pernah sampai ke titik A tetapi menemukan titik B yang ternyata
lebih baik baginya.
Source : Good HouseKeeping Edisi Januari 2013 Halaman 84
alhamdulillah geuning teh saha... dulur ...
BalasHapuslemah sagandu.wordpress.com
BalasHapussae Mang
HapusKang Yaya kumaha damang....
BalasHapusieu Amang sanes...?
Hapussae.. ini siapa..?? amang sanes...?
BalasHapus